Monday, February 2, 2015

A Paper: The Vernacular Architecture of Kerala, South India -An Architecture Knowledge on the Crossroad between Southeast Asia and South Asia




Dr. Indah Widiastuti, ST., MT
Lecturer – Department of Architecture
School of Architecture Planning and Policy Development
Institute of Technology Bandung
INDONESIA
Abstract

The vernacular architecture of Kerala in India is explored to demonstrate an architecture with Southeast Asian characters but situated beyond the agreed (modern) boundary of Southeast Asia. In this paper I would argue that, the architecture of Kerala reflects a combination of Indic and Southeast Asian characters and it leads to critical questions on the relevance of geo-political distinction between Southeast Asia and South India, the Colonial assumptions of ethnic and nationality and the paradigm of Indianization, on the development of knowledge about Southeast Asian architecture.  The discussions would be drawn in three sections: 1) evidences of general convergence and divergence of the building typology; 2) evidences of shared social-spatial organization of the habitations that specifically brings up the importance of women; and 3) discussions on the shared claims of pre-Hindu characters and maritime culture. The study would principally suggests that for the case of Southeast Asia, with its unique cultural dynamic and multiplicity, it is also important to explore knowledge about the processes of becoming that lend base to the emergence of the people, its habitations and the architectural traditions.  In understanding the process, the geographical framework should be taken in rather flexible manner, because the discussion about Southeast Asian architecture seem to be extendable beyond the territorial boundary. Kerala architecture is one of the case. With regards to Southeast Asian architecture, Kerala architecture reflect the pre-modern vernacular architecture in the crossroad between Western Coast of India and the West Southeast Asia.


Keywords: Kerala, South India, Vernacular Architecture, tattakam, tara, taravad, Indianization, Network of Asia.

Bedah Buku "Gids Historische Stadswandelingen Indonesie"


Bedah Buku Panduan Jelaja Kota-Kota Pusaka di Indonesia
Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Malang
Penulis:  Emile Leushuis
Editor: Catrini Pratihari Kubontubuh dan Aditya Pratama
Penerjemah:  Vini Widyaningsih
Penerbit: Ombak

I. TENTANG BUKU
[1]
Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepada semua pihak yang telah berupaya maksimal hingga lahirlah  “Panduan Jelajah” ini. Sudahlah pasti bahwa, buku ini sangatlah berguna bagi masyarakat dunia secara umum dan Indonesia secara khusus karena banyak tenaga dan waktu yang dapat dihemat secara efektif untuk mempersiapkan perjalanan di kota-kota pusaka Indonesia.
Selain untuk tujuan wisata, buku ini juga akan menjadi sumber informasi mengenai kota dan arsitektur pada masa sebelum Kemerdekaan yang kaya. Saya sangat yakin pembaca berlatar belakang sejarah, seni, arsitektur, tata kota, arkeologi, budaya, pecinta Bandung dan pencinta isu-isu konservasi akan menikmati buku ini, baik untuk tujuan-tujuan penggalian informasi, pengetahuan maupun verifikasi dan  kritik.  Lebih dari itu, Indonesia sendiri yang pernah menjadi bagian dari sejarah Eropa sendiri tentunya akan menjadikan buku ini cara untuk berapresiasi dan bernostalgia bagi masyarakat Eropa. Saya sering mendapati para pelancong berusia senja yang merupakan keturunan atau bahkan pernah menjadi tinggal di Indonesia. Keluarga kamipun kini memiliki kontak langsung dari Belanda yang ternyata sempat tinggal di rumah yang sama.
[2]
Buku ini disusun oleh bapak Emile Lieshuis yang didukung oleh jaringan  lembaga dan komunitas pelestarian pusaka bangunan kota. Menarik sekali bahwa buku yang sarat dengan konten arsitektur dan kota  ini ditulis oleh seorang geografer yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Karena itu dalam kesempatan ini saya ingin terlebih dahulu mewacanakan buku “panduan jelajah” ini dalam konteks fenomena “panduan perjalanan” dan “panduan arsitektural” dan perkembangan apresiasi dan pengetahuan mengenai arsitektur dan kota. Secara harfiah sebuah panduan merujuk pada kegiatan memandu yaitu kegiatan yang bersifat mengarahkan pelancong   kemana harus pergi, bagaimana harus bersikap dan betindak. Sebuah panduan tidaklah sama dengan “peta” atau “petunjuk”. Sebuah peta adalah sebentuk representasi dua dimensi suatu daerah, sedankan “petunjuk” adalah instruksi berbasis teks untuk mencapai obyek pada daerah tujuan tersebut. 

Secara baku sebetulnya kita mengenal ungkapan “panduan perjalanan” (travel guide) dan “panduan arsitekural” (architectural guides). Sebuah “panduan perjalanan” mengandung informasi “peta” dan “petunjuk” yang dibutuhkan untuk mencapai daerah tujuan. Sementara sebuah “panduan arsitektural”  (architectural guides) mengandung semua  informasi yang dibutuhkan setelah sang pelancong tiba di sebuah daerah yang dituju untuk menemukan bangunan yang ditujunya dan informasi yang bermanfaat bagi apresiasi. Sebuah “panduan arsitektural” tak memiliki tuntutan memberi arahan  bagaiman  pelancong   menemukan tempat tinggal atau membeli makanan-  Informasi seperti itu diperoleh pada “panduan perjalanan”.  Ada banyak motivasi dan alasan sebuah “panduan arsitektural” dibuat, bisa jadi karena karena  keunikan fungsi dan desainya, karena peristiwa dan sejarahnya; fungsi relijius dan kejemaahanya, ataupun nilai-nilai artistik, sosial dan emosionalnya. Bisa juga ia dibuat sebagai sarana ajar maupun sebagai sebagai sebuah teks.
Namun alasan paling utama sebuah buku panduan perjalanan dan panduan arstektural adalah karena obyek arsitektural tersebut penting untuk dikunjungi secara langsung. “
[3]
Dalam budaya Barat, kegiatan verbal mengekspresikan sebuah obyek tujuan perjalanan sudah ada sejak jaman Yunani. Trend ini muncul seiring dengan kian ramainya perjalanan lepas laut. Buku epik Herodotus bahkan sempat disebut sebagai bentuk awal dari catatan perjalanan (Oddysey) pada tahun 400SM. Komponen naratif buku ini adalah kumpulan kisah sebuah tempat, deskripsi tentang manusia, kebiasaan dan ritualnya, hingga struktur bangunan yang ada. Namun dalam konteks Oddysey ini informasi yang disampaikan masih bercampur antara mitos dan kenyataan.
Pada abad 9M para pelaut banyak menulis catatan perjalanan secara anonim yang kemudian dikompilasi dalam sebuah rekaman yang disahkan lembaga gereja dan disebut sebagai Codex. Dalam Codex ini Fisik lingkungan, struktur, orientasi alam maupun bentuk bangunan dijelaskan dengan lengkap. Lewat catatan-catatan perjalanan inilah arsitektur mulai tercatat dan menjadi salah satu embrio pengetahuan, karena Arsitektur sendiri menjadi salah satu referensi utama untuk mengenali sebuah tempat baru.
Pada abad ke 14 sesudah masehi atau abad Pertegahan  alat cetak memungkinkan produksi masal ‘panduan perjalanan” yang memunculkan tradisi handbook dan pamflet, sebagai panduan perjalan terutama untuk kegiatan ziarah. Secara khusus,  format sebuah handbook dibuat demi kenyamanan genggaman tangan.  Sekalipun peta belum menjadi bagian utama, namun informasi mengenai jalur yang mengarahkan sudah mulai dibuat. Deskripsi kota Roma banyak diproduksi karena banyaknya pelancong datang ke Roma untuk urusan ziarah mengunjungi gereja-gereja bersejarah beserta relic dan artefak  relijius lainya. Alasan lain adalah bisnis. Salah satu terbitan “panduan perjalanan” di masa ini adalah  panduan ziarah” Mirabilia Urbis Romae, atau “Keajaiban Kota Roma”. Versi revisinya sempat ditulis oleh Leon Batista Alberti dalam Descriptio urbis Romae. Seperti kita ketahui Pada kurun waktu yang bersamaan Alberti juga menulis ulang buku catatan pertukangan Vitruvius. 
Pada masa Renaisans, Andrea Palladio  membuat buku serupa ini - Panduan mengenai kota Roma (La Chiese ) yang berisi senarai gereja di Eropa. Palladio tidak hanya mencatat aspek relijius namun juga apresiasi yang lebih rasional dan manusiawi. Upaya mengorganisasikan informasi yang mempertimbangkan efisien waktu mulai dilakukan. Memang, di masa Renaisans ini, seiring semangat pencerahan, stimulasi semangat jelajah baru  adalah rasa “penasaran”.  Di jaman sebelumnya, persepsi perjalanan berasosiasi dengan ancaman dosa dan ketakpantasan. Di masa Renaisans, buku  panduan lebih dibuat untuk tujuan menjawab keingin tahuan mengenai dunia-dunia di luar batas, terutama dikalangan para cerdik pandai. Melancong menjadi sebuah gaya hidup populer, yang kemudian memunculkan istilah “Grand Tour” , yaitu  sebuah konsep melancong bagi kalangan pelajar Eropa untuk mengenali  pusat-pusat budaya Eropa yang difasilitasi publikasi instruksi perjalanan luar negri (dibuat oleh James Howell, tahun 1642). Tradisi ini berlanjut hingga abad 18.
Buku panduan yang lebih sistematis dengan klasifikasi informasi yang lebih teratur dibuat oleh Herarius Pyrksmair dkk (Theodor Zwinger, Justin Hierony- mus Furler) pada abad 17 dalam bentuk buku saku berjudul Commentariolus de arte apodemica seu ver peregrinandi ratione (1577).  Francis Bacon menulis panduan dalam bentuk essay pertanyaan “Of Travel”(1612). Tulisan-tulisan ini mulai menggunakan metoda-metoda yang khusus dan merujuk pada pengalaman-pengalaman pelancong terdahulu. Pada masa ini secara fungsional buku panduan seperti ini menjadi penting karena “melancong” adalah sebuah kegiatan yang mengandung bahaya dan karenanya membutuhkan  sistem informasi yang akurat. Singkat kata, berkat produksi buku-buku panduan perjalanan dan panduan arsitektural, pada akhir abad 19 koleksi deskripsi kota di Eropa menjadi kian lengkap. Informasi yang dirancang pun disesuaikan dengan kebutuhan gaya hidup dan kelas sosial pembacanya, seperti panduan perjalanan khusus untuk mengenal gereja, biara. Kastil dan hunian bangsawanan kuno. 

Seiring berkembangnya sosialita para  “pelancong”, buku “panduan perjalanan” dan “panduan arsitektural” mulai menjadi industri. Salah satu inovatornya adalah Karl Baedeker (1801 –1859) dan perusahaan swasta mulai ikut serta sebagai sponsor pembuatan panduan perjalanan (seperti yang dilakukan perusahaan ban Michelin untuk membuat Green Guides). Pada abad 18 peta mulai menjadi bagian penting pada sebuah panduan perjalanan arsitektural dengan bangunan arsitektural menjadi rekaman awalnya.  Di Amerika “panduan perjalanan: ini pernah populer karena kebutuhan perjalanan para imigran baru untuk masuk ke Amerika. Dan bagi migran lama di Amerika, “panduan arsitektural” dibutuhkan bagi kalangan atas untuk melancong ke Eropa mempelajari budaya adiluhung Eropa. 

Pada tahun 1935 di Amerika  pembuatan buku panduan perjalanan dan panduan arsitektural menjadi sebuah proyek nasional Works Progress Administration, yandibawah instruksi presiden pada  waktu itu Rooevelt. Konsep ini masih dipakai hingga tahun 1984 dan menjadi bentuk kompromi publikasi yang menggabungkan konsep panduan praktis “practical guidebook” dan kompendium  kesarjanaan, dan merupakan cikal-bakal penulis buku kompendium bangunan di Amerika, lengkap dengan peta dan deskripsi kesejarahanya. Bagi beberapa kalangan buku-buku seperti ini bahkan disebut sebagai modus untuk mengimbangi popularitas gerakan seni radikal Arsitektur Modern di Eropa dan Amerika.
Setelah perang dunia kedua, seiring dengan pembanguna  jalan raya, industri bahan bakar menjadi spnsor utama industri publikasi panduan perjalanan. Nikolaus Pevsener, yang terkenal dengan pengalamanya mengenai arsitektur Eropa Klasik dan buku-buku tipologi arsitekturnya, menjadi salah satu kontributor di sekitar tahun 1951 dan 1974. Pada tahun 1960-an  perusahaan Reinhold Publishing Corporation di  New York memproduksi  A Guide to New York Architecture 1650–1952. , bekerjasama dengan asosiasi arsitek Amerika AIA. Ini mungkin bisa dilihat sebagai bentuk formal kombinasi antara institusi profesional arsitektur dan institusi pariwisata.  Buku Panduan perjalanan dan arsitkural utama terakhir di Amerika adalah serial Buildings of the United States (BUS) pada tahun 1993 yang dibuat dalam rangka upaya dokumentasi pusaka arsitektur di Amerika Serikat sekaligus sebagai bentuk sambutan dari Masyarakat Sejarah Arsitektur di Amerika -  Soci ety of Architectural Historians (SAH)   terhadap kerja dokumentasi Nikolaus Pevsner yang mendasari versi Amerika buku Pusaka bangunan Inggris.
Pada tahun 1960s dan 1970s rona urban mulai dibahas dan bahasan kota kian meningkat. Segmen pembacanyapun menjadi ebih spesifik, seperti panduan untuk ibu-ibu, pemuda.
Jelaslah belajar dari sejarah bahwa pembuatan Panduan Perjalanan atau jelajah baik dalam bentuk travel guide atau architectural guides bukan semata wujud perpaduan antara kegiatan melancong namun juga berdampak pada akumulasi pengetahuan dan apresiasi arsitektur, lewat kegiatan perekaman dan publikasi obyek-obyek arsitektural.  terlihat bahwa buku Panduan Jelajah seperti ini tidak hanya berfungsi untuk memandu, namun juga sebagai sarana belajar dan menanamkan kesadaran akan bangunan sebagai warisan pusaka, dan bahkan secara politis sebagai sarana  menanamkan nilai-nilai budaya, nasionalisme serta berbagai bentuk sinergi industri yang mendukung upaya pelestarian.
Berikutnya mari kita mulai masuk ke dalam isi bahasan….

[4]
Gids historische stadswandelingen indonesie secara harfiah berarti “panduan jalan-jalan kota bersejarah”. Tak aneh karena, memang secara khusus buku ini mengasumsikan pelancong akan berjalan kaki. Namun saya bisa bilang bahwa “panduan jalan-jalan” ini lebih merupakan “panduan arsitektural” atau architectural guides, karena ia memperkenalkan topik arsitektur lengkap dengan informasi mengenai sejarah dan detil informasi pendukungnya, sekalipun karakter informasi arsitekturalnya lebih mirip sebagai sebuah kompendium atau sebuah senarai bangunan bangunan pusaka di 9 kota. Beberapa buku panduan perjalanan seperti yang dibuat oleh Dorling Kindersley misalnya menyajikan informasi arsitektural yang detil hingga denah, aksonometri dan detil.
Namun sangat bisa dimengerti bahwa panduan jelajah ini memang nampaknya lebih bersifat mengenalkan dan lebih diperuntukan bagi kalangan pemerhati arsitektur yang seluas-luasnya dan tak secara khusus arsitek. Publikasi di Belanda kemungkinan juga dikarenakan adanya kebutuhan masyarakat Belanda sendiri untuk berapresiasi dan bernostalgia megenai tempat tempat yang pernah menjadi bagian dari dirinya.
Sistematika buku ini dibuat cukup baik, lugas dan konsisten mulai dari pengenalan dari pihak penulis, penyunting dan penerbit, perkenalan atas materi berupa latar belakang historis, sosial dan kultural dari kota-kota yang dibicarakan sejak masa pramodern hingga setelah kemerdekaan. Materidari  masing-masing bagian diurai mulai dari latar belakang sejarah, sosial dan budaya, lalu diikuti oleh   skema panduan jelajah dalam bentuk peta panduan dan detil informasi dari masing-masing  titik jelajah, dengan uraian bangunan yang dijadikan tujuan jelajah. Pertautan antar informasi mulai dari yang paling umum dan yang khusus dihadirkan dengan baik dan menarik, seperti layaknya hyperlink dalam web.Penomoran menyerupai hyperlink menjadikanya cukup mudah ditelusuri.Informasi yang tersedia Untuk masing-masing bangunan yang disebut pun cukup kaya-  bukan hanya nama bangunan dan langgam yang digunakan, namun juga nama arsitek dan peristiwa-peristiwa unik dan bersejarah dari yang kecil hingga besar. Aspek lain yang sangat berperan adalah tata atur dari buku dengan pembedaan yang secara visual dibuat dengan menggunakan perbedaan tema warna. Entah mengapa Bandung diberi warna biru.apakah karna unsur Persib?
Memang ini lah salah satu fakta yang jelas dikerangkakan dalam Gids ini, yaitu bahwa kekayaan Bandung memang adalah arsitekturnya – Kota Pusaka. Mirabilia Urbis Romae dibuat sebagai sebuah panduan memahami kota pusaka Roma, tanpa pretensi membuat sebuah standwendelingen atau architectural guides, namun adalah fakta bahwa kekayaan Roma adalah kota dan bangunanya. Karena itu harapanya adalah bahwa Gids ini akan membangkitkan kesadaran akan kekayaan  bandung pada bangunan arsitektural dan tata kotanya.
Demikian kayanya informasi yang dimiliki sehingga memang ada kecenderungan bagi  pelancong yang tak terlalu suka membaca, akan menganggap buku ini cukup melelahkan untuk dibaca, apalagi dengan font yang kecil dan ukuran format B5 menjadikanya sedikit kurang handy. Karena itu sangat disarankan para pembaca untuk membaca buku ini sebelum perjalanan di mulai, untuk membiasakan diri.
 [5]
Gaya penulisan naratif-deskriptif yang sangat lugas membuat jalinan peristiwa dan pertautan antara berbagai informasi mudah diikuti, layaknya sebuah cerita yang  mengalir. Materi diurai secara lintas disiplin: arsitektur, tata kota, budaya urban, sejarah Indonesia. Gambar-gambar yang disajikan dapat membuat  pembaca tanpa harus  ikut berjalanpun bisa terbawa ke masa lalu mengmajinasikan Bandung seperti yang diharapkan penulisnya. 
Keterbatasan informasi mengenai arsitektur  Modern di Indonesia juga akan menempatkan buku ini berdampingan dengan buku akademis sejarah arsitektur, seperti yang selama ini ditulis oleh penulis seperti Bapak Handinoto, Yulianto Sumalyo, Dibyo Hartono. Secara ilmiah materi buku ini ditunjang oleh sumber-sumber sekunder yang cukup sebetulnya cuku umum digunakan dalam penelitian arsitektur di Indonesia-Kolonial, seperti  Huib Akihary, F colombijn, PJM Nas, Corr. Paschier, PKM. Van Roosmalen, Voskuil. Dan dari Indonesia, seperti Josef Prijotomo, Jo Santoso, gunawan Tjahjono, Pratiwo, Nina. Lubis, buku-buku pemerintahan Uraian buku ini juga mengikuti norma yang cukup bertanggung jawab, seperti pencantuman daftar pustaka, index dan glosarium. Memang pada akhirnya setiap uraian tentang kota adalah layaknya sebuah makalah naratif mengenai kota pusaka yang dimulai dengan latar belakang,  penjelasan singkat mengenai skema peta jelajah  dan detil uraian dari masing-masing  obyek jelajah. Tentunya hal ini akan memunculkan beberapa pertanyaan akademis untuk lain, apakah sebuah buku panduan jalan-jalan bisa dijadikan sebuah referensi akademis?
Bila melihat sejarah yang diurai sebelumnya sebetulnya memang tak menjadi masalah karena memang ada sebuah batasan antara buku arsitektur dan buku pariwisata ternyata juga porus. Saya hanya bisa mengatakan bahwa memang bagi pembaca kritis bagaimana kesahihan beberapa pernyataan diukur akan menjadi pertanyaan karena tidak adanya uraian tentang metoda  dan cara dari data dan informasi diperoleh dan ditata. Hal ini membuat pembaca dituntut sepenuhnya percaya pada penrnyataan penulis. Karena itu terutama bagi kalangan akademis yang hendak mempergunakan buku secara untuk kepentingan ilmiah, panduan jelajah ini tetap perlu diperlakukan sebagai sebuah informasi awal yang perlu diverifikasi lebih jauh. Panduan jelajah kota-kota pusaka ini, setara dengan buku populer regional “Semerbak  Kota Bandung” atau “Bandung Tempo Dulu”, sebuah narasi populer yang memberi gambaran holistik mengenai situasi Bandung.
 [6]
Menurut saya, inovasi luar biasa dari buku ini adalah kemampuannya menjalin sekian banyak  kajian-kajian ilmiah dan naratif  mengenai arsitektur, kota, budaya dan sosiologi Kolonial  yang berserakan kedalam satu narasi “epik-urban”. Ia juga berguna bukan hanya bagi wisatawan maupun, pula, kalangan akademis, namun juga masyarakat awam, bukan saja masyarakat Indonesia tapi juga masyarakat Belanda. Sifat naratif dari panduan ini menjadikan penggalan-penggalan kisah yang biasanya terdengat sangat dingin dan statis menjadi sangat hangat dan hidup, dan bahkan memberi logika yang berbeda dari yang biasa dikenal. Beberapa uraian yang biasa dipahami secara terpisah namun menjadi terpaut padu secara lugas misalnya adalah:
·         keberadaan masyarakat Tionghoa di masa yang berebda, seperti VOC, pemerintahan Hindia Belanda dan pasca Kemerdekaan berkorelasi dengan miliu, lingkungan dan bangunan yang berbeda pada arsitektur pecinan di era VOC, Hindia Belanda dan pasca kemerdekaan
·         Sulit bagi l\kita utuk membayankan jawa tanpa jalan Anyer dan Panarukan, ketika waktu translasi manusia dalam ruang adalah 30 hari, yang menjadi 4-8 hari setelah jalanan dibangun.
·         Biasanya kita mengenal sejarah desentralisasi sebagai produk dari politik etis, namun uraian dalam buku ini membuat saya membacanya sebagai sebuah narasi kapitalisme global yang melahirkan kebutuhan-kebutuhan lingkungan binaan baru beserta inovasinya, yang kemudian melahirkan arsitektur modern di Indonesia.  Diskusi tentang itupun tidak hanya berhenti pada langgam, namun juga tipologi baru, manajemen baru, dan pranta- pranta baru yang berkaitan dengan kota.
·         Fakta pembagian kelas sosial warga Eropa, warga pribumi dan warga Tionghoa yang secara mainstream disajikan sebagai perwujudan rasisme, disajikan sebagai wujud pembagian administrasi demografi berdasarkan manajemen karesidenan dan kabupaten.

Bilapun ada hal hal yang mungkin agak mengganjal adalah penggunaan penggunaan istilah yang tidak biasa, terutama bagi pembaca indonesia, seperti beberapa istilah:Luifel,bukanya kanopi dan Piron, bukanya finial. Namun itupun masih teratasi dengan adanya glosarium. Pengertian gaya atau langgam pada istilah arsitektur Indis tertutup dan terbuka, atau arsitektur Pecinan tertutup dan terbuka, itupun bukanlah istilah umum yang sering kita pakai dalam dunia akademis. Tentunya situasi ini tak dapat dibebankan kepada penulis. Secara umum memang belum ada pembahasan yang terlalu mendalam untuk membangun kesepakatan mengenai derivatif gaya gaya tersebut. Ketika di satu sisi Art Deco disebut, Art Nuoveau pun juga disebut. Namun apa gerangan perbendaanya ketika ini dibicarakan. Dalam bahasan ini sempat disebut Arsitektur Indis. Dalam buku ini Arsitektur Indis dipandang secara normal sebagai sebuah gaya hibrida yang normal yang merupakan wujud kreativitas lokal yang bersifat informal. Sementara konotasi Arsitektur Indis dalam pemahaman arsitektur Indonesia seringkali dianggap disebut sebagai seni rakyat dengan nilai yang tidak adiluhung.
II. MATERI KHUSUS-BANDUNG
[7]
Untuk materi khusus saya akan ambil salah satu contoh kasua Bandung, Seperti halnya pada uraian umum, materi khusus juga diuraikan secara sangat mengalir dan sistematis, mulai dari Bandung sebagai pindahan kota karesidenan, menjadi  kota perkebunan hingga menjadi pemukiman warga Barat, gementee dan calon ibukota negara. Ketika sejarah umum nasional lebih bercerita mengenai suksesi kekuasaan, dan sejarah arsitektur dan tata kota hanya menyampaikan langgam, tipologi dan teknologi, buku ini membahas keduanya sebagai sebuah jalinan kisah transformasi yang dialami oleh masyarakat dan dan lingkunyannya yang kemudian refleksinya terwujud dalam ungkapan arsitektur dan kota.

Ketika sejauh ini, dalam konteks pusaka, Bandung lebih dipahami lewat estetika, tektonika dan langam arsitektur, dan dalam konteks kota mengenai garden city, dalam buku ini arsitektur dan lingkungan binaan di Bangunan  dinarasikan sebagai cerita sebuah inovasi kota. THS digambarkan sebagai bagian dari rangkaian inovasi kota yang tak dapat dipisahkan dari kemunculan fungsi-fungsi lain seperti Jarbeurs atau pusat ekshibisi, institut kanker, institut orang buta, observatorium, rumah sakit dan kantor perusahaan telepon. Lebih jauh lagi inovasi tersebut juga ternyata inovasi tersbut juga adalah wujud pro aktif warga Eropa di Bandung pada masa itu yang diwadahi lewat socialita seperti Bandung Vooruit. Tak banyak yang paham bahwa atas dasar kelengkapan yang dimiliki Bandung lewat fungsi-fungsi ini peristiwa KAA diputuskan diselenggarakan di Bandung. Bukan hanya aspek engineering, braga menjadi mirip Broadway dengan gambaran fashion peranncis dan toneelnya.

[8]
Buku ini juga memberikan refleksi balik terhadap konteks dari definisi “Kota Pusaka” yang sudah didefinisikan oleh editor di awal uraian. Namun tentunya konsep pusaka bisa berbagai macam. Kita belum banyak mempertimbangkan bangunan pasca Kemerdekaaan sebagai bagian dari artefak Pusaka, sekalipun dalam buku ini juga dibahas kantor telepon dan gedung KAA yang renovasinya menghadirkan wujud tahun 1950an. Apakah Gaya arsitektur Jengki juga bisa dipertimbangkan sebagai arsitektur Pusaka, sekalipun bukan produk kolonialisme Belanda? Lalu bagaimana dengan kreativitas lokal yang mengambil inspirasi arsitkektur Kolonial yang mungkin bisa dipahami dengan kacamata etnografi dan sosiologi, seperti pada Deco Kampung.

Konteks Pusaka dalam buku ini melekat pada artefak yang memang sudah banyak dipahami secara umum dan didiskusikan secara intensif – yaitu sebuah arsitektur yang dirancang sebelum kemerdekaan dan dibangun dalam skema-skema yang sudah direncanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selebihnya, masih banyak ruang bagi penulis-penulis lain untuk membuat seperti apa yang sudah dilakukan bapak upaya Emile Leushuis ini untuk membahas fokus fokus pusaka yang lain, baik yang bersifat arsitektural maupun non-arsitektural.  Sejauh ini bandung sendiri sudah memiliki panduan jelajah seperti Geo-Track yang mengkhususkan diri pada jelajah geologi yang dibuat oleh bapak T Bachtiar bersama ibu Dhian Damajanindan Budi Brahmantio. Sama seperti halnya bapak Emile Leushuis, bapak Bachtiar ini juga adalah seorang Geografer. Atau Peta Angkot bandung yang dibuat oelh teman teman di anggota sebuah Komunitas Peneliti Independen.

[9]
bagi masyarakat pariwisata buku ini kembali menjadi bukti bahwa salah satu penggerak utama dari pelestarian bangunan bersejarah adalah para komunitas  pariwisata. Karena itu ketika kini bisnis pariwisata di Bandung justru kini menjadi salah satu penyebab berhilanganya bangunan bangunan bersejarah, buku ini juga menjadi sebuah sarana apresiasi dan kritik terhadap bangunan bersejarah, di tengah-tengah carut marut dampak industri pariwisata masa kini di Bandung.

Pada akhirnya kehadiran buku Panduan Jelajah ini layak mendapat apresiasi yang tinggi, karena seperti disampaikan oleh sang editor bahwa “melalui buku ini Emile Leushuis secara sederhana mengajak kita semua mengenali aset-aset pusaka yang merupakan keunikan yang khas dari setiap kota”. Saya sangat yakin dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, buku ini akan sangat bermanfaat untuk memberi wawasan pengetahuan yang kaya mengenai konsep Kota Pusaka.

Bandung 30 Januari 2015

Indah Widiastuti


Friday, January 24, 2014

Essay: Membaca dan Berwacana: Eksplorasi dan Keingintahuan lewat Teori dan Sejarah Arsitektur, September 20, 2013

Essay: Membaca dan Berwacana: Eksplorasi dan Keingintahuan lewat Teori dan Sejarah Arsitektur, materi diskusi pada acara "Afternoon Tea" bertajuk "Ada Apa dengan Profesi Arsitektur", Sabtu, September 20, 2013, Selasar Sunaryo Art Space dan dimuat pada Artikel Ikatan peneliti Lingkungan binaan

Thursday, October 10, 2013

ISVS e - journal, Vol. 2, no.4 , September , 2013 Journal of the International Society for the Study of Vernacular Settlements



Abstract
This paper is an account of observations of traditional-vernacular houses in Kerala using the frameworks of Typo-Morphology and vernacular architecture. The observation yielded five general types of residential buildings with regard to structural, spatial arrangements and their nature of development. Rectangular hall with veranda or porch turns out to be the basic form for the more elaborated design. The observations also yield a glimpse of the living culture and the characteristic feature of the vernacular and traditional architecture of Kerala which share the characteristics with Southeast Asian Arch itecture. This study confirms the existence of an uninterrupted continuity between the architecture of South India and the Southeast Asia
.
Keywords: Southeast Asian architecture, Kerala, nalukettu, ekasala, veedu, pattayapura, vaastu, Vaastu typo-morphology, vernacular, traditional architecture

Wednesday, March 6, 2013

ISVS e-journal, Vol. 2, no.3, January, 2013 (ISSN 2320-2661)


Indah Widiastuti
School of Architecture Planning and Policy Development
Institute of Technology Bandung, Indonesia
&
Ranee Vedamuthu
School of Architecture and Planning
Anna University, Chennai, India

Abstract

Arapura in this discusion refers to traditional residential building that accommodates agriculturist matrilineal joint-family (taravad) in Kanyakumari area. This paper outlines the evolution of the Arapura from the prototype of granary whose sequential transformation could be traced from the design of granary box, pattayam. Three cases of Arapura are documented and analyzed with respect to their spatial configurations.

Keywords:
arapura, veedu, nira granary-house, granary-box, Kerala, matrilineal, Kanyakumari, India and Indonesia


International Conference on Culture, Society, Technology and Urban Development in Nusantara (ICCSTUDN) 2012, Brastagi, North Sumatera

DISCOURSE OF “WOMAN POWER” IN TRADITIONAL SETTLEMENT CONCEPT OF SOCIETY PRACTICING MATRILINEAL KINSHIP IN MINANGKABAU, WEST SUMATERA INDONESIA AND KERALA, SOUTH INDIA
Dr. Indah Widiastuti

ABSTRACT

This paper tried to critically look on the reflection of matrilineal descent rule on the concept of traditional settlement of the society practicing the same. The study was based on the comparative study of settlement concepts of Nagari in Minangkabau, West Sumatera Indonesia and Tara-Nayar in Kerala, South-India. Minangkabau and Kerala represent matrilineal society in Asia.  The exposition would start with questioning the matrilineal descent rule concept against the fact that female position is not always strong and how the patriarch power of elder male's member (Penghulu in Minangkabau and Karanavar in Kerala) could be more decisive than the female. This paper would further argue that the role of female power is more related to a phenomenal relation female as principal anchor of clan in a location, rather than their superiority. The interconnections of female and their houses symbolize the existence of a clan in a geographical scope. The relation among three houses would be articulated in a network that could territorially constitute a settlement.

This working paper is not intentionally designed to present a theory but a discussions to reach comprehensive understanding about the nature of matrilineal kinship and how it affect environment and landscape. It is discovered that their matrilineal descent-rule concepts in both regions cannot be detached from the other traits such as the role of senior male-members and assembly of elders, the corporate enterprise and its networking systems articulated spatially and territorially as habitation (nagari and tara). Keywords: Matrilineal kinship, nagari, tara, kampung, kaum, taravad, marumakattayam, ninik-mamak.